Walan.id – Perselingkuhan adalah fenomena sosial yang semakin mengemuka di era modern. Bukan sekadar masalah pribadi, perselingkuhan membawa dampak luas, termasuk keretakan keluarga, trauma psikologis, dan terganggunya stabilitas sosial. Di tengah masyarakat digital dan terbuka, persoalan ini menjadi tantangan serius bagi moral dan etika.
Data Komnas Perempuan
Pada tahun 2023 tercatat peningkatan laporan kasus perselingkuhan yang berujung pada perceraian hingga 15% per tahun, menunjukkan dampak nyata terhadap struktur keluarga.
Perselingkuhan merusak fondasi utama hubungan, yaitu kepercayaan dan komitmen. Pihak yang dikhianati mengalami luka emosional, stres, hingga depresi, sementara anak-anak menjadi korban tidak langsung dari keretakan ini.
Penelitian Universitas Indonesia pada tahun 2022 yang lalu menunjukkan anak dari keluarga yang mengalami konflik akibat perselingkuhan lebih rentan mengalami gangguan psikologis dan kesulitan membangun kepercayaan di hubungan sosial mereka.
Baca juga:
Peringatan World Clean Up Day 2025, Menteri LH dan Kepala Daerah Ajak Gotong Royong Bersihkan Sampah
Saat ini, Era digital semakin memudahkan perselingkuhan melalui media sosial dan aplikasi pesan instan, di mana kedekatan emosional bisa terbangun tanpa batas dan sering berujung pada pengkhianatan.
Kasus yang terungkap di pengadilan Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa komunikasi daring menjadi bukti perselingkuhan yang banyak terjadi di kalangan profesional perkotaan.
Masalah utama adalah krisis nilai. Kesetiaan sering direduksi sebagai pilihan fleksibel,
sementara budaya permisif menormalisasi perselingkuhan sebagai hiburan atau gosip menarik.
Komunikasi yang buruk, konflik yang tak terselesaikan, dan lemahnya kontrol diri membuka celah bagi perselingkuhan. Namun, alasan-alasan ini tidak membenarkan pengkhianatan terhadap pasangan.
Baca juga:
PKKMB Politeknik Industri Petrokimia Banten, Bupati Serang Minta Mahasiswa Semangat Berinovasi
Dampak sosial dan moral perselingkuhan sangat signifikan. Ia bertentangan dengan kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama. Penelitian LIPI (2022) menunjukkan bahwa keluarga yang mengalami perselingkuhan cenderung memiliki tingkat konflik sosial lebih tinggi dan menurunkan tingkat kepercayaan antarwarga di komunitas mereka.
Jika dibiarkan, perselingkuhan dapat merusak institusi keluarga sebagai fondasi masyarakat. Solusi harus bersifat preventif dan edukatif. Pendidikan karakter sejak dini menekankan nilai kesetiaan, empati, dan pengendalian diri.
Pendidikan relasi yang sehat, termasuk komunikasi terbuka dan manajemen konflik, perlu dipromosikan. Konseling keluarga dan layanan kesehatan mental yang mudah diakses terbukti menurunkan angka perceraian akibat perselingkuhan, sebagaimana laporan Pusat Konseling Keluarga Jakarta (2023).
Media massa juga berperan penting dengan menyajikan narasi edukatif, menyoroti dampak perselingkuhan, serta menampilkan kisah pemulihan dan refleksi moral.
Perselingkuhan adalah cermin kualitas moral dan sosial masyarakat. Dengan bukti nyata dari data Komnas Perempuan, Universitas Indonesia, dan lembaga konseling, terlihat bahwa dampak perselingkuhan tidak bisa diabaikan.
Masyarakat yang ingin menjaga integritas
hubungan dan ketahanan keluarga harus menempatkan kesetiaan sebagai pilihan sadar yang dilandasi tanggunga jawab dan empati. Dengan demikian, keluarga tetap menjadi ruang aman dan masyarakat terjaga harmoninya, sementara nilai moral tetap hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Penulis: Muhamad Fauzul Adli
Fakultas Hukum Univeritas Pamulang PDSKU Kota Serang













