Walan.id – Asap masih menggantung di langit kota. Jalanan yang sehari-hari riuh kini dipenuhi aroma ban terbakar dan debu yang bertebaran. Poster-poster mahasiswa, bekas teriakan di depan gedung kekuasaan, tergeletak di trotoar, sebagian robek, sebagian terinjak. Di beberapa kota, laporan penjarahan dan kerusuhan menambah ketegangan, dan di balik kabar-kabar itu tercium aroma makar: bisik-bisik tentang kegelisahan politik yang bisa menjalar menjadi krisis besar. September kali ini bukan bulan biasa. Ia datang dengan riuh yang mengingatkan bangsa ini pada sejarah lamanya sendiri.
Di tengah suasana genting itu, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan reshuffle besar: lima menteri diganti. Bagi sebagian orang, ini sekadar rotasi kabinet, rutinitas demokrasi. Namun bagi mereka yang peka membaca arah angin, langkah ini adalah pernyataan politik. Reshuffle ini adalah jawaban negara terhadap gejolak, sebuah strategi merapikan barisan pemerintahan, mempertegas arah kebijakan, dan menegaskan: negara tidak akan goyah menghadapi badai.
Langkah ini mengingatkan kita pada sejarah September lain. Pada 18 September 1948, republik yang masih muda menghadapi pemberontakan Madiun, di mana PKI berusaha merebut kekuasaan. Tentara Nasional Indonesia, dengan segala keterbatasan, berhasil memadamkan api itu. Dan pada malam 30 September 1965, tragedi G30S menorehkan luka yang mendalam, mengoyak rasa percaya bangsa, dan menandai babak baru sejarah Indonesia. Kedua peristiwa itu terjadi di bawah kepemimpinan Bung Karno, Putera Sang Fajar yang Cindy Adams gambarkan sebagai sosok pemimpin dengan hati sebesar bangsa yang ia pimpin.
Bung Karno menghadapi badai dengan perpaduan karisma, cinta, dan keberanian. Ia turun ke jalan, duduk di warung, mendengar rakyatnya. “Aku ini bukan apa-apa tanpa rakyatku,” katanya. Kalimat itu bukan slogan kosong, tetapi janji. Namun sejarah tidak memberinya jeda. Pemberontakan Madiun dan G30S memaksanya menjadi pengikat bangsa di tengah pusaran ideologi global. Bung Karno tidak memimpin dengan tangan besi belaka, tetapi dengan perasaan dan visi kebangsaan yang mengikat rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Kini, Prabowo berada dalam pusaran zaman yang berbeda, tapi aroma krisisnya serupa. Reshuffle kabinet ini bukan hanya penggantian pejabat, melainkan langkah peneguhan arah pemerintahan di tengah tekanan yang nyata: demonstrasi mahasiswa, penjarahan, ekonomi global yang rapuh, dan politik domestik yang riuh. Keputusan tegas ini adalah sinyal bahwa pemerintah tidak akan membiarkan ketidakpastian berkembang menjadi kekacauan.
Prabowo memimpin dengan ketegasan, tapi bukan ketegasan yang kaku. Dalam setiap pergantian, ada pesan untuk memperbaiki mesin pemerintahan: memperkuat koordinasi, mempertegas prioritas, dan menempatkan orang-orang yang siap bekerja di tengah krisis. Di balik langkah itu, ada upaya merangkul: menjaga kepercayaan rakyat yang mulai goyah, memberi kepastian bahwa negara hadir di saat genting.
Di sinilah hikmah sejarah bersuara, sebagaimana firman Allah:
وَتِلْكَ ٱلۡأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيۡنَ ٱلنَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kekalahan) itu Kami pergilirkan di antara manusia.” (Ali ‘Imran: 140)
Ayat ini bukan sekadar renungan spiritual, tetapi pengingat bahwa roda sejarah berputar: kejayaan dan krisis silih berganti, dan bangsa ini tidak boleh lengah. Bung Karno pernah menjadi nakhoda di tengah ombak ideologi, kini Prabowo memegang kemudi di tengah badai politik dan ekonomi.
Sejarah September memberi kita pelajaran: kepemimpinan selalu diuji pada masa krisis. Bung Karno mengikat bangsa yang baru lahir dengan kekuatan perasaan dan visi kebangsaan. Prabowo kini dihadapkan pada tantangan yang berbeda: bagaimana menjaga stabilitas di tengah keterbukaan informasi, kompleksitas ekonomi, dan polarisasi politik. Namun esensi kepemimpinan tetap sama: keputusan berani diambil bukan untuk memperkuat kekuasaan semata, tetapi untuk memastikan negeri tetap utuh.
September adalah cermin lintas zaman. Ia memperlihatkan Bung Karno yang teguh di tengah badai ideologi dan Prabowo yang mengambil langkah berani di tengah gelombang protes. Dua zaman berbeda, tetapi sama-sama mengingatkan kita bahwa bangsa ini selalu diuji pada titik-titik genting. Jika Bung Karno dulu bisa menjadikan kepemimpinannya penopang harapan, maka Prabowo pun dihadapkan pada kesempatan untuk mengubah ketegangan menjadi momentum kebangkitan.
Sejarah memberi pilihan: September bisa dikenang sebagai bulan luka, atau sebagai bulan keteguhan. Dan semua itu bergantung pada satu hal: apakah pemimpin negeri ini mampu merawat kepercayaan rakyat dengan hati, sambil mengambil langkah tegas yang dibutuhkan.
Penulis: Muhamad Roby Ketua Tanfidziyah PCNU Kab. Serang adalah calon sejarawan lepas yang gemar merangkai sejarah dengan bahasa sastra. Ia menelusuri arsip dan kisah rakyat untuk menjadikan sejarah cermin bagi masa kini.