Walan.id – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerja sama dengan Indonesian Jurists Practitioners and Legal Scholars (IJPL) mengadakan forum grup diskusi (FGD) di Hotel Aston, Kota Serang, Banten.
Acara ini menjadi tempat berkumpulnya berbagai kalangan, mulai dari advokat, akademisi, hingga mahasiswa, untuk membahas isu penting mengenai hak imunitas bagi jaksa dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Diskusi tersebut berfokus pada Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang menyatakan, “Upaya paksa terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas seizin Jaksa Agung.” Meski pasal ini dirancang untuk memberikan perlindungan kepada jaksa dalam menjalankan tugasnya, banyak pihak yang meragukan potensi penyalahgunaan wewenang yang mungkin terjadi akibat ketentuan ini.
Baca juga:Diduga Selewengkan Dana BPO Senilai Rp. 39 Miliar, Kejati Banten Akan Periksa Al Muktabar
Ahmad Rivai, perwakilan Mahupiki, menyampaikan pendapatnya, “Permasalahan yang sebenarnya bukan hanya di Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan ini, tetapi juga permasalahan mengenai Revisi KUHAP.” Ia menekankan bahwa kewenangan dalam suatu negara perlu diatur atau dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Prof. Dr. Jamin Ginting, yang juga hadir sebagai narasumber, mengungkapkan bahwa keberadaan hak imunitas jaksa saat ini memicu kontroversi di masyarakat. Ia menjelaskan, “Dengan adanya hak imunitas bagi jaksa ini bisa diartikan aparat penegak hukum lain seperti polisi, hakim, dan lainnya akan menundukan diri kepada Jaksa Agung.”jelasnya.
Menurut pandangannya, ketentuan ini seolah mengabaikan kode etik serta sistem pengawasan yang telah diterapkan sebelumnya. Ia pun mempertanyakan, “Bagaimana apabila terdapat jaksa yang tertangkap tangan melakukan dugaan tindak pidana? Bisa jadi kabur seorang jaksa tersebut apabila perlu ada izin Jaksa Agung terlebih dahulu.”terangnya.
Baca juga:Berikut 7 Cara Bijak Menghadapi Ejekan dan Sindiran, Jaga Martabat serta Percaya Diri
Basuki, anggota Mahupiki Banten, menambahkan bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (5) saat ini belum memiliki mekanisme yang jelas, sehingga berpotensi melindungi jaksa yang menyalahgunakan wewenang. Ia menegaskan bahwa tidak ada urgensi bagi jaksa untuk memperoleh hak imunitas, mengingat mereka sudah mendapatkan dukungan dari negara untuk melaksanakan tugas secara profesional.
Dalam kesempatan yang sama, Shanty Wildhaniyah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC PERADI) Serang, juga berbagi pandangannya. Ia mengungkapkan kebingungan yang sering muncul dalam praktik imunitas advokat dan khawatir bahwa keberadaan imunitas bagi jaksa justru akan menambah kompleksitas dalam penegakan hukum.
“Hak imunitas penting dalam menjalankan tugas, namun tidak seharusnya berlaku untuk tindak pidana,” ujarnya.
Menutup diskusi, Ahmad Rivai mengharapkan agar Mahupiki dapat memberikan masukan yang kritis dan objektif kepada pemerintah terkait kebijakan hukum yang ada. Acara tersebut diakhiri dengan pemberian cinderamata kepada para narasumber dan peserta yang aktif bertanya, sebagai bentuk penghargaan atas keikutsertaan mereka.
Diskusi ini menunjukkan bahwa isu hak imunitas bagi jaksa merupakan topik yang memerlukan perhatian serius dan kajian lebih lanjut untuk memastikan keadilan serta transparansi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Comments 1